Monday, June 07, 2004

“Survivor”: It’s About the Real Survival

*tulisan ini gw bikin di akhir taun 2001, sempet di-publish di www.hardrockfm.com. tentang sebuah program tv yg gw sukaaaa banget. yg bikin gw terobsesi bikin program sekeren ini. kapan ya wan?

=====

Pernah berpikir nggak apa yang sebetulnya bisa dilakukan oleh seorang produser acara televisi? Mengatur hidup orang, memainkan perasaan mereka, dan mengubah nasib dan jalan hidupnya! Itulah yang dilakukan oleh Mark Burnett lewat acara TV dengan rating tertinggi dalam sejarah televisi Amerika: Survivor.

Mengambil lokasi-lokasi yang eksotis dengan panorama indah, “Survivor” menempatkan arenanya di Pulau Tiga (dua puluh mil dari pantai Kalimantan), Queensland Utara untuk season kedua “Survivor: The Australian Outback”, dan Taman Nasional Shaba di Kenya untuk season ketiga “Survivor: Africa.” Sayangnya di saluran TV lokal Indonesia baru season pertama yang diputar di Indosiar tiap Minggu malam. Season pertama telah diputar di Amerika sejak 31 Mei 2000, season kedua tanggal 28 Januari 2001, sementara season ketiga dimulai 11 Oktober 2001 lalu.



16 orang yang berbeda jenis kelamin, umur, pekerjaan, status sosial ekonomi, dan karakter hidup bersama selama 39 hari terdampar dan terpencil di tengah alam bebas, dengan kondisi yang ekstrim dan serba tidak nyaman. Secara rutin diadakan berbagai kompetisi: dari lomba memakan ulat sampai permainan yang butuh kerja sama kelompok. Tujuan akhir pesertanya hanya satu: bertahan hingga akhir acara dan memenangkan satu juta dollar.

Kesulitan dan tantangannya tidak hanya bagaimana bertahan hidup di tengah kondisi “jungle survival,” tapi justru berhadapan dan menjalin hubungan dengan peserta lain. Tiap tiga hari, semua peserta harus memilih satu orang untuk pergi, hingga orang terakhir yang tinggal adalah si pemenang. “Kamu harus membuat mereka menyukai kamu atau mereka memilih kamu untuk pergi,” ungkap salah satu pesertanya. Atau seperti yang dikatakan pemandunya, Jeff Probst, inti dari “Survivor” adalah sebuah tes kemampuan sosial.



Jadilah kehidupan di alam bebas, kompetisi seru, konflik antar peserta, ungkapan-ungkapan emosional, hingga detik-detik penentuan siapakah yang akan “terusir” dari arena sebagai sebuah kisah menarik yang sama sekali bukan fiksi. Namun itu semua tidak akan menjadi tontonan yang mampu mengikat penontonnya, tanpa konsep, alur, dan kemasan yang bagus.

Kelebihan Burnett adalah kemampuannya untuk mengangkat berbagai perbedaan karakter dan merangkai plot dengan sangat menarik. Ia mengandalkan dan memperhitungkan tipe-tipe karakter, seperti: anak muda yang bengal, orang tua yang keras kepala, pemalas, anak manis, seniman, perancang siasat dan sebagainya, untuk dikembangkan dalam berbagai alternatif plot.

Tidak heran kalau seleksi pesertanya dilakukan begitu ketat, sejalan dengan membludaknya peminat. Lebih dari 6000 peminat membanjiri CBS (distributor dan broadcaster acara ini) dengan rekaman-rekaman video yang menjelaskan kenapa mereka perlu dipilih. Angka itu diseleksi jadi 800, kemudian 48, dan menjadi 16 final yang kesemuanya harus melalui ujian medis dan psikologis.

Berkat kematangan dan kesiapan konsep, plot dan alur, perhitungan karakter, hingga eksekusi untuk pengemasannya inilah acara reality TV ini jadi tontonan yang sangat menarik, sekaligus mampu membawa dan mengikat penontonnya mengikuti naik turunnya drama petualangan ini. Kemudian, melalui karakter yang beda-beda dari para pesertanya, penonton juga bisa melihat refleksi dirinya, dan selain itu, tentunya, mengidolakan salah satu atau lebih survivor.



Itu semua tidak berhenti di akhir season. Bagaimanapun itu adalah kehidupan nyata. Jadi apa yang terjadi dengan para survivor masih dapat diikuti melalui media massa. Seperti ketika si corporate trainer Richard—pemenang season pertama—dituntut dengan tuduhan menyakiti anaknya dan memaksanya untuk berolahraga, ketika Jenna ditawarkan berpose untuk majalah Playboy, dan ketika si cantik mahasiswi Colleen mendapat peran besar dalam film layar lebar Animal bersama Rob Schneider.

Bagi kita, si penonton, cerita juga tidak berakhir di situ. Kisahnya adalah bagaimana kita merefleksikan diri dan hidup kita pada para survivor itu. Siapakah kita? Apakah kita termasuk yang pemalas, ataukah yang rajin, peduli dengan teman, bisa bekerja sama, organisator, dan lain-lain. Dan ini adalah masalah: are we gonna survive?

0 Comments:

Post a Comment

<< Home